Konflik dan pergolakanyang berkaitan dengan ideologi- Ideologi adalah suatu gagasan, ide-ide a sistem
pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada
masalah publik sehingga pembuat konsep ini menjadi intisari politik. Setelah
era kemerdekaan banyak terjadi berbagai macam pemberontakan yang diamana
pemberontakaan itu berdasarkan ideology yang dibawa oleh beberapa kelompok yang
ingin diterapkan dan dijadikan pedoman bagi banghsa Indonesia
Termasuk dalam kategori
ini adalah pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan DI/TII dan peristiwa
G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme, sedangkan
pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama.
konflik ideologi
konflik ideologi
Perlu diketahui bahwa
menurut Herbert Feith, Seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang
terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat
sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima kelompok : Nasionalisme radikal (diwakili
antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi), Komunis (PKI), Sosialisme
demokrat (Partai Sosialis Indonesia/PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai
Indonesia Raya/PIR), kelompok teosofis/kebatinan, dan birokrat
pemerintah/pamongpraja. Pada masa itu kelompok-kelompok tersebut nyatanya
memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing. konflik ideologi
1. Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai
politik pertama yang didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah
partai baru, karena telah ada sejak jaman pergerakan nasional sebelum dibekukan
oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.
Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung
pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika
golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai Oposisi dan
bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi
Rakyat (FDR) yang didirikan oleh Amir Syarifuddin pada bulan Februari 1948.
Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa PKI ke dalam
pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18 September
1948 (Taufik Abdullah dan AB lapian, 2012).
Mengapa PKI memberontak ? Alasan utama tentu bersifat ideologis,
dimana mereka memilih cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah
pimpinan Muso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR
bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai
demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatan-kekuatan
bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan membahayakan
strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi oleh Amerika Serika
(AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet yang
komunis. Padahal saat itu AS dan Uni Soviet tengah mengalami perang
dingin. konflik ideologi
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso,
bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka,
untuk meredam gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau
panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan
bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok
pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal
18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia.
Presiden Soekarno
segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogyakarta :
"Saudara-saudara!
camkan benar apa artinya : Negara Republik Indonesia yang kita cintai, hendak
direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan
perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Soviet,
di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk
merebut seluruh Pemerintahan Republik Indonesia. ..... saudara-saudara,
camkanlah benar-benar apa artinya yang telah terjadi itu. Negara Republik
Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso!
Rakyat yang kucinta!
Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu : "Pada
saat yang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan
yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan
antara dua : Ikut Muso dengan PKI yang akan membawa bangkutnya cita-cita
Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan
Tuhan akan memimpin Negera Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh
negeri apapun juga.
.....Buruh yang jujur,
tani yang jujur, pemuda yang jujur, rakyat yang jujur, janganlah memberikan
bantuan kepada kaum pengacau itu. Jangan tertarik siulan mereka!
....Dengarkanlah, betapa jahatnya rencana mereka itu! (Daud Sinyal, 1996)
Di awal pemberontakan,
pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai yang anti
komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah
yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak.
Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap.
Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan
Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil
menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya
Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat
pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil ahli kekuasaan. konflik ideologi
Dari kisah diatas, apa
hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah
Indonesia kemudian ?
Pertama, upaya
membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak pemberontakan
tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata "liar" berhasil
didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi simpati AS sebagai
penengah dalam konflik dan perundingan antara Indonesia dengan Belanda perlahan
berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa
dilepaskan dari stategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.
Tetapi hal terpenting
lain juga perlu dicatat. Bahwasanya konflik yang terjadi berdampak pula pada
banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak
dalam peristiwa ini juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia
lemah, untuk kemudian menlancarkan agresi militernya yang kedua pada Desember
1948.
2. Pemberontakan DI/TII
Cikal bakal
pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula dari
sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ketika
Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena
Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar
bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh
Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia
(TII). Ia lalu menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan
dukungan TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948. konflik ideologi
Operasi terpadu “Pagar
Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk
mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Melalui operasi ini pula
Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati,
yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Di daerah
Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan
aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta
pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih. Amir Fatah
bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes.
Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang
menemuinya lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan
kemudian ikut memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah.
Selain Amir Fatah, di
Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji
Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar
bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan
menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Pemberontakan Darul
Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi
Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya
berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam
pun jadinya tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah.
Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah
Kudus, Klaten hingga Surakarta
Selain di Jawa Barat
dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap awal, pemberontakan ini
lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan
terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi
yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan
malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. konflik ideologi
Pemberontakan yang
berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan.Timbulnya
pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri hingga
tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai
pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah
tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut.
Diantara para pembelot
mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai
figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut, terutama
di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar
bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas
(KRIyT).
Akhir tahun 1954, Ibnu
Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang
menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII
Kalimantan.
Di Aceh, pemicu
langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950 pemerintah
menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para ulama
Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini.
Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.
Setelah Daud Beureuh
melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian
dari Negara Islam
Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo. Konflik antara pengikut Daud Beureuh
dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum
akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa
pada tahun 1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran
yang telah selesai. Ia mendapat pengampunan. konflik ideologi
3. Gerakan 30 September
1965 (G30S/PKI)
Peristiwa G30S, yang
pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia
memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa
tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok
politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak
terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.
Juli 1960 misalnya, PKI
melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara. Bulan Agustus 1960
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI,
dibubarkan pemerintah. Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di
kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang
lebih besar. Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
duduk dalam kabinet. Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI
memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan
nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis),
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras.
PKI lalu meniupkan isu
tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu
kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang ditandatangani Duta
Besar Inggris di Indonesia. konflik ideologi
Suasana pertentangan
antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya
menjelang tanggal 30 September 1965. Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira
yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September”
dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1
Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah
Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani
(Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto,
Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal
Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal
Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan. konflik ideologi
Di Yogyakarta Gerakan
30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang
anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.
baca juga : ciri kebijakan orde baru
Dalam situasi tak
menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor
Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat,
karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana.
Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi
penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. konflik ideologi
itulah beberapa informasi tentang Konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi semoga bermanfaat untuk teman-teman semua