Pergolakan yang Berkaitan dengan Sistem Pemerintahan- adalah sistem (jaringan-jaringan) yang dimiliki suatu negara dalam
mengatur pemerintahannya. Saat ini Indonesia menganut sistem presidensial atau biasa
disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara
republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan
kekuasan legislative (DPR). Namun dalam perjalanan sejarah Indonesia juga
pernah menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Sistem
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen itu sendiri
memiliki peranan penting dalam roda pemerintahan. Dalam hal ini parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat
mennggulingkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak
percaya. Berbeda pula dengan sistem
presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan
seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam
presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam
sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
baca juga : konflik yang berkaitan dengan ideologi negara
Masalah
yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan
perjanjian Linggarjati, Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat atau
federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS.
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO
(Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
A.
PRRI Permesta
Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah
satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
(Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya
ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein
di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Sedangkan Permesta atau Perdjuangan
Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta adalah sebuah gerakan militer di
Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia
Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusatnya berada di
Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi.
Latar
Belakang Pemberontakan PRRI dan Permesta Umumnya semua bermula pada ketidakpuasan
rakyat atau pimpinan di luar Jawa (Daerah) terhadap penyelenggaraan
pemerintahan (Pusat) yang dilakukan para pemimpin RI karena dirasakan terlalu
sentralistis & berorientasi di pulau Jawa. Konflik yang sering terjadi ini sangat dipengaruhi oleh
tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas tidak terpusat di
pulau Jawa saja. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih
belum stabil pasca agresi Belanda.
Munculnya
pemberontakan PRRI dan Permesta awalnya bermula dari adanya persoalan atau masalah di dalam tubuh
Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di
Sumatera dan Sulawesi. Kekecewaan tersebut diwujudkan engan pembentukan
dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan
Februari 1957, seperti :
1. Dewan
Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2. Dewan
Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
3. Dewan
Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
4. Dewan
Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Beberapa
tokoh sipil dari pusatpun memberi dukungan pada mereka bahkan bergabung ke menjadi satu,
seperti tokoh Syafruddin Prawiranegara, tokoh Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.
Ahmad Husein selanjutnya mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar Kabinet Djuanda
mengundurkan diri atau menyerahkan mandatnya kekuasaannya kepada presiden. Tuntutan tersebut
jelas akan ditolak oleh pemerintah pusat. Krisis pun terjadi dan akhirnya memuncak ketika pada
tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berada di Padang, Sumatera Barat.
Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Pemerintah
pusat saat itu tanpa ragu ragu langsung bertindak tegas dan terjun ke lapangan. Operasi militer segera dilakukan untuk
menindak lanjtuti pemberontak yang diam diam ternyata memiliki dukungan dari negara adi daya yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki kepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap
pemerintah pusat Indonesia saat itu yang bisa saja semakin dipengaruhi oleh komunis.
Pergolakan yang Berkaitan dengan Sistem Pemerintahan
B. Persoalan Negera Federal dan BFO
B. Persoalan Negera Federal dan BFO
BFO
Negara Federal maupun BFO prinsipnya sama, yaitu adalah suatu negara yang secara
resmi merdeka dan diakui kedaulatannya namun secara de-facto berada di bawah
kontrol negara lainnya. Permasalahan ini muncul dimulai sejak Perundingan
Linggarjati disetujui dan ditanda tangani dan di perparah lagi dengan
penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti Roem-Royen.
Konsep
Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO atau Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa
Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah
antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan
golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Sistem
Pemerintahan
Dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah
non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras oleh para politisi pro RI yang ikut
serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil
konferensi.
Sejak
pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua
kubu. Kelompok pertama lebih memilih bergabung RI yang dipelopori oleh Ide Anak
Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara
Pasundan). Kelompok kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T.
Mansur (Sumatera Timur) yang bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan
BFO.
Ketika
Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan atau perselisihan antara dua kubu ini
kian lama kian sengit. Dalam sidang sidang BFO selanjutnya kerap terjadi beberapa konfrontasi
antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Setelah beberapa hari kemudian ,
Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling untuk mempersiapkan beberapa pemberontakan terhadap pemerintah RIS. .
Namun
selain pergolakan yang mengarah kepada arah perpecahan, pergolakan yang bernuansa positif bagi persatuan bangsa
juga pernah terjadi. Hal ini pernah terlihat
ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB ,
harus berhadapan (bersitegang) dengan tuntutan rakyat yang ingin agar
negara-negara bagian tersebut bergabung ke RI.
Adapun Potensi
disintegrasi bangsa pada masa kini bisa saja benar benar terjadi apabila bangsa
Indonesia tidak menyadari adanya potensi semacam itu. Karena itulah kita harus
selalu waspada dan terus melakukan upaya untuk menguatkan persatuan bangsa
Indonesia yang kita cintai ini. Sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa
proses disintegrasi bisa sangat merugikan. Antara tahun 1948-1965 saja ,
gejolak yang timbul disebabkan karena
persoalan perbedaan ideologi,
kepentingan atau berkait dengan sistem pemerintahan, telah berakibat pada
banyaknya kerugian fiik, materi mental dan tenaga bangsa.
Konflik
dan pergolakan yang berlangsung diantara bangsa Indonesia bahkan bukan saja
bersifat internal , melainkan juga berpotensi ikut campurnya bangsa asing pada
kepentingan nasional bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi disintegrasi
(perpecahan) yang sudah terjadi terulang terus menerus, maka sebagai generasi
muda bangsa ini haruslah berjuang dengan cara mengisi kemerdekaan.
itulah beberapa pergolakan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, semoga informasi tersebut bermanfaan buat teman teman semua
itulah beberapa pergolakan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, semoga informasi tersebut bermanfaan buat teman teman semua